Jingga di Hati Raina

oleh Mutiara Sal Sabila

Sore itu langit baru saja menangis. Menyapu debu-debu ibukota, menyejukkan pemandangan sekitarnya.  Namun tidak dengan hatiku. Masih terasa hampa, sepi, dan kelam. Sama seperti 2 tahun lalu. Semenjak jingga pergi. Aku merindukan awan jinggaku. Jingga adalah sahabat baikku sejak smp. Ia orang yang sangat baik, tampan, juga perhatian. Jingga satu-satunya orang yang selalu mengerti keadaanku, segala kelebihan dan kekuranganku. Serta mau menerimaku apa adanya. Seketika memori ingatanku tertuju pada saat terakhir kali bertemu jingga. Sebelum jingga memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Seperti ada ribuan jarum yang menancap di hatiku, sakit dan begitu perih. Ibukota menjadi hampa dan menyesakkan sekali rasanya.

“Rei aku mau ngasih sesuatu nih buat kamu ” jingga mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Aku segera mengambil dan membuka kotak itu. “Ini kan … “Aku begitu terkejut melihat isi kotak itu. Sepasang liontin berbentuk segumpal awan. Aku memang sudah lama menginginkannya. Namun aku tak menyangka bahwa jingga akan memberikannya.  “Rei, setelah kenaikan kelas aku bakal pindah ke Belanda. Ayahku bakal tugas disana jadi kami sekeluarga bakal pindah kesana.” seketika jantungku hampir berhenti bergetar, sekuat tenaga aku berusaha menahan tangis. “Buat berapa lama Ngga ?” Aku berharap Jingga akan kembali secepatnya. Aku tak ingin jauh dari Jingga. “Aku gak tau Rei, mungkin lebih dari 2 tahun. Tapi entahlah aku juga gak tau pastinya kapan”. “Yaudah, kamu hati – hati ya disana, hubungi aku kalau udah disana dan inget jangan pernah lupain aku ya”. Aku mencoba tersenyum meskipun hatiku sangat hancur berkeping – keping, mencoba setegar mungkin menyembunyikan luka dalam hati.

Sejak hari itu Jingga tak lagi menghubungiku, sekalipun tak pernah. Aku merasa bahwa hariku terasa berbeda sejak kepergian Jingga. Ada ruang kosong dalam benakku yang kini terasa begitu aneh ku rasakan. Aku sadar bahwa kini aku tak hanya kehilangan sahabat baikku, tapi juga orang yang telah mengisi ruang dalam hatiku. Ya, aku mencintai Jingga, perasaan yang lebih dari sekedar sahabat. “Rei ngelamun aja sih neng, kesambet baru tau rasa lo” suara seseorang mengagetkannya. Ternyata Arum, dia juga sahabatku . Dulu aku, Jingga, dan Arum selalu bersama kemana pun. Namun sekarang hanya ada aku dan Arum, tinggal kita berdua saja. “Rum, apa Jingga udah lupa sama kita ya. Udah 2 tahun lebih dia pergi dan sekalipun gak pernah ngasih kabar ke kita” ucapku dengan nada murung. Seketika Arum terdiam, entah apa yang ada di pikirannya. “Rei, mungkin dia lagi sibuk kali. Udahlah gak usah bahas tentang dia lagi ya. Senyum dong jangan murung gitu” Arum mencoba menghiburku.

“Rum, besok ikut aku yuk ke mall. Aku bosen nih dirumah terus. Kita makan atau nonton film apa gitu, kayaknya filmnya bagus deh” aku membujuk Arum untuk mau pergi bersamaku. Sejujurnya aku ingin sekali mencari kesibukan agar tidak teringat pada jingga. Hariku terasa begitu lama ketika memikirkan jingga. “Maaf ya Rei gue gak bias, ada acara sama temen. Lain kali aja ya, lusa kayaknya gue bisa deh” Arum bersikeras menolak, akhirnya aku harus menerima dan tidak jadi pergi dengannya. Hari ini sepertinya akan jadi hari yang sangat panjang karena aku harus berdiam diri di rumah, membiarkan bayangan Jingga memenuhi otakku.

Aku sudah selesai membantu mama melakukan pekerjaan rumah. Menyapu, mengepel, memasak, dan mencuci piring. Tetapi rasanya hari ini begitu panjang, aku tak tau apa yang harus ku lakukan sekarang. Jingga tak pernah mengirimkan 1 surat pun untukku. “Aku ingin sekali menulis surat untuknya, tapi dimana alamat rumah Jingga di makassar ? Ponsel Jingga tak pernah aktif . Bagaimana caraku mengirimkannya ? ” batinku. “Rey kamu kan mumpung lagi libur, ikut mama yuk belanja. Daripada bengong terus dirumah” mama tiba – tiba muncul didepanku. Aku tak tau sejak kapan mama datang. Bayangan jingga memang selalu mengganggu konsentrasiku belakangan ini, seperti apa ya dia sekarang. Biasanya aku paling malas untuk pergi belanja bersama mama, tapi untuk menyingkirkan bayangan jingga. Baiklah, akan aku lakukan.

“Arum… ” panggilku ketika melihat Arum tak jauh dari toko baju tempat aku menemani mama belanja. Dia langsung berlari menghindar. Ia terlihat menarik seorang cowok, entah siapa cowok itu. Wajahnya tidak begitu jelas karena aku melihatnya sekilas saja. “Kenapa Arum gak mau aku ajak pergi dan malah pergi sama cowok itu. Dan siapa cowok itu ?” pikirku penasaran. “Biasanya Arum selalu menemaniku kapanpun aku membutuhkannya, sama seperti Jingga. Tapi mengapa sekarang aku merasa Arum menghindar dariku. Apa salahku padanya?” tanyaku dalam hati.

“Rum, kemaren kamu pergi sama siapa sih. Kok aku panggil malah pergi” tanyaku saat di sekolah. Hari ini aku merasa bahwa ada yang di sembunyikan Arum dariku. Hal yang membuatnya belakangan ini menghindar dariku. Aku tau bahwa dari raut wajahnya ada rasa gelisah yang mencoba disembunyikannya dariku. “Tapi kenapa ?” tanyaku dalam hati. “Oh itu, gue kemaren sama sepupu gue” jawabnya singkat. “Kok kemaren gue panggil malah pergi sih rum?” tanyaku menyelidik. Seketika wajahnya pucat dan salah tingkah. “Mm… Masak sih lo panggil gue Rey, kayaknya gue gak liat lo deh” jawab Arum gelagapan. Aku tau bahwa Arum berbohong, tapi jika aku bertanya lagi dia juga tidak akan berkata jujur padaku. Lebih baik aku mengiyakan ucapannya saja. Aku tidak ingin hubungan persahabatanku dengannya semakin renggang. “Oiya Rum, nanti ada pameran buku sama ada pensinya gitu. Bandnya keren – keren deh Rum. Nonton bareng aku yuk” ajakku bersemangat. Aku memang menyukai pameran buku. Selain bisa mendapatkan buku kegemaranku, aku juga bisa membelinya dengan harga murah. Aku benar – benar tak ingin melewatkan acara ini. “Maaf gue gak bisa Rey, gue mau pergi sama sepupu gue yang kemaren itu. Mumpung dia lagi liburan di sini. Kalo dia balik ke Jepara kan gue susah buat ketemu dia lagi.” jawab Arum menolak. “Yaudah deh Rum, lain kali aja” jawabku kecewa. Aku tak pernah merasakan kesepian sepeti ini, biasanya ada Jingga yang slalu ada untukku. Tapi kini Jingga pergi meninggalkanku.

Aku bertekad untuk tetap mengunjungi pameran buku, meskipun sendirian. Aku tak ingin melewatkan satu kesempatan pun karena pameran buku ini sangat penting bagiku. Aku bergegas menunggu bus di halte depan sekolahku.  Aku melihat Arum sedang menghubungi seseorang, dia terlihat panik dan menunggu seseorang. “Tapi siapa orang itu” pikirku penasaran. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke pameran buku, aku ingin tau siapa orang yang sedang di tunggu Arum. Mungkin dia sedang ada masalah dan membutuhkan bantuanku. Seorang cowok menghampirinya menggunakan motor besar berwarna hitam. Aku tak melihat wajahnya karena orang itu menggunakan helm, tetapi dari postur tubuhnya sepertinya orang itu sama dengan cowok yg aku lihat saat di mall. “Apa itu memang sepupu Arum ?” tanyaku dalam hati. Aku benar – benar bingung dengan sikap Arum akhir – akhir ini. Jika memang benar itu adalah sepupunya mengapa dia tak memperkenalkan sepupunya padaku, pikirku. Aku mengikutinya dengan menaiki ojek, kebetulan tak jauh dari sekolahku ada pangkalan ojek. Semoga Arum tidak tau jika aku mengikutinya.

Mereka sampai di taman. Cowok tersebut membuka helmnya dan seketika aku terkejut melihatnya. “Jingga..” teriakku menghampiri mereka berdua. Bagaimana mungkin Jingga telah kembali tanpa menemuiku. Aku benar – benar kecewa padanya, aku tak bisa membendung air mataku lagi. Arum dan Jingga terlihat sangat terkejut. Aku tak bisa berkata apa – apa lagi. Hatiku benar – benar hancur. Aku bergegas pergi meninggalkan mereka berdua. Namun Jingga segera menahanku agar tidak pergi. “Rey, kenapa kamu malah pergi setelah kita lama gak ketemu. Aku selalu nunggu kamu Rey, please dengerin aku dulu.” Jingga menahan tanganku, kencang sekali. Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan diri darinya. Aku tak perduli lagi dengan apa yang dikatakannya. Akhirnya aku dapat melepaskan diri darinya. Aku berlari meninggalkan kedua sahabatku yg telah tega membohongiku dan membuat hatiku hancur berkeping – keping. Sungguh aku membenci mereka berdua, sangat membencinya.

Aku merebahkan tubuhku di kamar. Aku tak mau berbicara dan menemui siapapun meski mama sudah berkali – kali menanyakan mengapa aku seperti ini. Aku tak mengerti mengapa aku salah mengerti Jingga, aku pikir bahwa dia mempunyai perasaan untukku. Perasaan yg lebih dari  sekedar sahabat. Seperti perasaanku untuknya. Namun ternyata aku salah,Jingga mencintai Arum. Mereka saling mencintai. “Argh… Aku benci seperti ini. Cinta yang bertepuk sebelah tangan” kutuk ku dalam hati.

“Ra, itu Arum nungguin dari tadi. Kok gak kamu temui. Ada apa? Cerita sama mama dong” ucap mama sembari membelai rambutku. Mama terlihat sangat kawatir, ia tak ingin terjadi apa- apa pada anak semata wayangnya itu. Mama sangat menyayangiku, melebihi rasa sayangku pada mama. Mugkin tak ada salahnya aku menceritakan semuanya pada mama, tukasku pelan. Aku menceritakan semua hal kepada mama, bagaimana perasaanku pada Jingga hingga sore itu. Sore ketika aku melihat awan Jinggaku tak lagi untukku. “Wah, anak mama ternyata sudah besar ya. Sudah jatuh cinta segala. Nak.. jatuh cinta itu enggak salah. Cuma di usia kamu yang sekarang ini cinta itu cuma sesaat, namanya cinta monyet. Kalo kamu marah sama mereka bahkan benci, kamu akan kehilangan sahabat – sababat terbaik kamu. Kamu gak mau kan kehilangan mereka?” tanya mama sembari mengusap air mataku. Seharusnya aku tak egois seperti ini. Jika mereka saling mencintai aku tak boleh menghalanginya. Aku harus melupakan Jingga, membuang rasa ini jauh – jauh. Terimakasih ma, aku sangat beruntung memiliki mama sebaik mamaku. Aku menyunggingkan senyum kepada mama, tanda ucapan terima kasih. Mama membalasnya dengan anggukan. Aku bergegas turun untuk menemui Arum. Aku akan belajar memaafkannya, mencoba mengikhlaskan dia bersama Jingga.

“Rey, maafin gue. Gue gak bermaksud nyakitin lo !” Arum berteriak ketika aku membuka pintu. Aku bergegas menemuinya, kemudian memeluknya erat – erat. “Lo gak salah rum, aku yang salah karena udah marah sama kalian. Gue bakal lupain Jingga kok.” ucapku sambil terisak. Aku tak bisa membendung air mataku untuk jatuh lagi. Setidaknya dengan ini aku dapat sedikit lebih lega karena persahabatanku dengan mereka masih tetap berjalan. Dan tentang perasaan, seiring berjalannya waktu semuanya akan pulih bukan. “Rey, sebenernya gue mau jelasin sesuatu ke elo. Sebenernya Jingga suka sama lo, bukan gue” ucap Arum melepas pelukanku. Mencoba menatapku lekat – lekat. Seketika mataku terbelakak tak percaya. “Bagaimana mungkin ?”. Bukankah selama ini Jingga selalu menemui selepas kepulangannya dari Makassar, bukan aku. Bukankah itu sudah menjadi bukti bahwa Jingga mencintai Arum, dan bukan aku.

” Rei, gue suka sama Jingga. Bukan Jingga yang suka gue !” Arum menatapku sambil terisak. Apa maksudnya ?. Aku menatapnya tak mengerti. Ia mulai membuka mulut, hendak menjelaskan kata – katanya. “Jingga suka elo Rei, bukan gue. Dia slalu ngasih lo surat tiap minggu lewat pos. Pertama kali gue liat surat itu, terus gue bales. Gue suruh dia ngirim surat buat lo ke rumah gue. Sejak itu gue selalu bales surat – surat buat lo tiap minggu. Gue suka Jingga dari dulu, tapi dia cuma nganggep gue sebagai sahabatnya. Dia gak pernah liat gue kayak dia liat lo. Dia slalu curhat tentang elo ke gue, cerita semua tentang lo. Elo juga selalu cerita tentang dia ke gue. Kalian gak pernah tau kalo gue suka sama Jingga. Kalian gak pernah liat mata gue yang terluka tiap kali kalian berdua jalan bareng, liat sunset bareng. Lo gak pernah tau Rei !” seketika tangisnya pecah. Hari ini aku melihat Arum sangat terluka. Aku melihat sekilas Jingga pergi dari ambang pintu. Dia terlihat sama terkejutnya denganku. Aku tak bisa mengejarnya, biarkan saja dia menenangkan dirinya saat ini. Arum jauh lebih terluka saat ini.

Aku benar – benar bingung terhadap apa yang aku rasakan saat ini. Di satu sisi aku sedih melihat sahabatku terluka seperti ini, aku tak menyangka kami mencintai pria yang sama. Dan di sisi lain aku kecewa atas perbuatannya, dia tega menjauhkanku dari Jingga. Meski dia sudah tau bahwa selama ini aku menunggu Jingga kembali. “Tuhan, mengapa harus begini ?” gerutuku dalam hati. Aku membiarkan Arum berlalu tanpa ada sepatah kata pun, membiarkannya pergi dengan hati yang terluka. Aku tak tau harus berbuat apa, entah bagaimana akhirnya persahabatan kami nanti. Aku memang mencintai Jingga, tapi aku tidak ingin persahabatan kami hancur.

Hujan senja ini begitu menenangkan, aku menatap tiap tetes air yang jatuh dari atas balkon. “Indah sekali !” batinku. 6 bulan rasanya begitu lama, membiarkan kenangan masa lalu menemani hari – hariku. Sejak kejadian lalu aku tak pernah lagi bertemu Arum, dia mencoba menghindar dariku. Aku juga tidak pernah bertemu Jingga, baik aku dan Jingga saling menjauh. Aku sudah mencoba mempertahankan persahabatan kami. Tapi nyatanya Arum dan Jingga sudah begitu jauh. Biarkan saja persahabatan yang indah menjadi sebuah kenangan. “Rei, kok ngelamun aja sih neng kesambet baru tau rasa lo” seseorang memelukku dari belakang, membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh ke belakang, aku tak percaya apa yg aku lihat saat ini. “Arum !” seruku girang, mataku bahkan  berkaca – kaca melihatnya. “Reina, maafin gue. Gue jahat banget sama lo dan Jingga. Gue sadar gue salah Rei, gue sekarang ikhlas lo sama Jingga” Arum berkata sangat tulus. “Tapi Rei, gue…” seseorang menutup mulutku dengan jari telunjuknya, sangat lembut. “Jingga !!” seruku tak percaya, Jingga juga ada di sini. “Rei, gue udah baikan sama Arum. Gue cinta sama lo Rei, lo mau kan jadi pacar gue ?” tatapan jingga sangat teduh. Dia mengeluarkan setangkai mawar dan liontin yg dulu diberikan untukku. Aku membawa liontin itu, dia memakaikannya di leherku. Aku tak bisa lagi menahan rasa haru, tagisku pecah karena bahagia. Aku tau selepas hujan pasti akan ada pelangi yang indah. Seperti persahabatan kami, aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka, batinku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *