FPR MENYERUKAN HAK-HAK BURUH YANG BELUM TERPENUHI

1 Mei atau sering disebut sebagai Mayday telah ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional untuk memperingati perjuangan buruh yang sudah berjuang selama satu abad lamanya untuk mendapatkan hak-haknya. Keberadaan buruh  di  Indonesia  sudah  ada  semenjak zaman  penjajahan  Belanda. Di mana buruh adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat koloni yang termasuk dalam kaum pekerja mulai dari kuli, petani, pegawai Pemerintah, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya. Gerakan-gerakan protes dari kaum petani yang muncul untuk menuntut perbaikan kesejahteraan, kemudian memberikan inspirasi kepada kaum buruh untuk menggalang kekuatan secara kolektif, yang diinisiasi oleh buruh yang bekerja di perusahaan kereta api yang menuntut perbaikan kondisi kerja. Sebagian besar pekerjaan menuntut tenaga-tenaga fisik yang kuat dan sedikit keterampilan. Oleh karena itu banyak penduduk khususnya di perkotaan yang bekerja sebagai buruh dengan upah harian atau per-jam yang sangat rendah, tanpa jaminan pekerjaan yang mengakibatkan buruh harus terus berpindah pekerjaan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Sebab kondisi itu lah akhirnya buruh di Indonesia mulai berserikat untuk memperjuangkan hak-haknya.

Akhir-akhir ini sering muncul pemberitaan di media terkait pemogokan  buruh  yang terjadi di berbagai perusahaan yang ada di Indonesia.  Pemogokan buruh  itu  sebetulnya  bukan  hal  yang baru  dalam  sejarah  gerakan perburuhan.  Sebab,  pada  tahun  1920-an  pemogokan buruh sudah  sering  terjadi. 

Kenaikan upah menjadi isu yang selalu melekat ketika terjadi aksi mogok kerja serikat buruh di Indonesia pasca reformasi. Isu ini seolah-olah menjadi isu tunggal yang diperjuangkan kaum buruh ketika aksi mogok, aksi blokade jalan, ataupun aksi demonstrasi. Kata “buruh” dan “upah” seakan-akan melekat satu sama lain antara definisi dan maknanya, berbicara buruh dikonotasikan berbicara tentang upah sehingga pemerintah dan publik sering terjebak dalam kesempitan isu ketika berbicara tentang buruh. Asumsi  tersebut meruncing pada relasi isu kebijakan pemerintah dengan kaum buruh hanya sebatas pada masalah Upah Minimum Provinsi/Kabupaten (UMP/UMK). Diakui bahwa kenaikan upah memang menjadi isu strategis yang diperjuangkan oleh kaum buruh tetapi bukan menjadi isu tunggal dari perjuangan gerakan buruh.

Terkait permaalahan tersebut berbagai organisasi mahasiwa dan organisasi masyarakat dari berbagai sektor yang tergabung dalam aliansi Front Perjuangan Rakyat melakukan aksi solidaritas untuk memperjuangkan hak-hak buruh yang selama ini belum terpenuhi, karena buruh adalah bagian dari masyarakat yang  perlu  disejahterakan  secara  sosial, politik,  budaya  dan  ekonomi.  Dimulai dari IAIN Purwokerto, massa aksi melakukan longmarch dengan titik aksi di Alun-alun Purwokerto. Massa aksi yang hadir berjumlah sekitar 150 orang. Di dalam aksi tersebut terdapat 9 poin tuntutan yang dibawa oleh Front Perjuangan Rakyat. Salah satu permasalahan yang disoroti adalah isu sistem kerja outsourching yang menggunakan pihak ketiga. karena sistem outsourching yang seperti ini buruh tidak mendapatkan kesejahteraan yang semestinya. Selain itu juga dibahas isu mengenai perlindungan buruh migran. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Agitasi dan Propaganda, Fakhrul Firdausi, “Pada tahun 2019 ada sekitar 65.000 buruh yang berangkat keluar negeri tapi di tahun yang sama ada 60.000 kasus buruh yang mendapatkann perlakuan tidak layak, artinya ini sangat mengenaskan.” Masalah lain yang terus menjadi perdebatan tidak lain dan tidak bukan adalah mengenai  upah minimum buruh yang selama ini dianggap sebagai upah maksimum. Upah minimum sendiri adalah upah yang layak ketika seorang pekerja berstatus lajang, tapi ketika dia berkeluarga dan sudah mempunyai anak dan sebagainya seharusnya upah tersebut harus ditinjau kembali dan buruh harus dilibatkan dalam proses-proses penentuan kebijakan yang ada. Masalah lain yang timbul terkait upah buruh tersbut adalah mengenai diskriminasi upah. “Pemerintah itu beranggapan kalau buruh perempuan itu mengambil cuti seperti cuti hamil, upahnya  harus lebih direndahkan dari upah buruh laki-laki itu merupakan suatu kekeliruan,” ujar Korlap aksi, Avier dari Pembaru Indonesia. Avier juga menganggapi  isu terkait outsourching dia mengatakan permasalahan outsouching merupakan permasalahan sistematis yang tidak hadir secara  tiba-tiba, tapi juga berangkat dari skema internasional karena Indonesia terlibat dalam perjanjian-perjanjian internasional mengenai soal fleksibilitas tenaga kerja.

Upah, kesejahteraan, dan perlindungan pekerja menjadi persoalan umum dan utama buruh akhir-akhir ini. Pemerintah pun belum merespon dengan serius terkait adanya permasalahan-permasalahan yang ada. Paling tidak dengan adanya aksi-aksi ini menjadi pengetahuan tersendiri bagi masayarakat maupun mahasiswa bahwa buruh di negara kita belum benar-benar sejahtera. Peran mahasiswa dalam peringatan hari buruh juga tak kalah penting. Kita sebagai generasi muda yang dinialai cukup berpendidikan menjadi harapan untuk memperbaiki  kelemahan maupun ketidak adilan pemerintah yang ada dengan cara mengabdi kepada masyarakat.

Penulis: Bethari Sherawaly Melda

Editor: Gabrielle Arthour Jonathan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *