Handini, Air Mata, dan Sertifikatnya

Menyusuri sawah-sawah kering sembari tertatih menuntun sepeda onthel yang barusan jatuh bersama Handini, perempuan seusia kita, 20 tahun yang selalu dia tunggu untuk meraup pundi-pundi rupiah guna membantu perekonomian keluarganya yang bisa dibilang jauh dari kata mampu.

Dirinya hanya sampai pada masa SMA saja. Mengenyam bangku perkuliahan saja tidak. Tapi, dirinya mengerti arti bekerja dan berusaha serta dapat berfikir matang dan penuh intelektualitas selayaknya mahasiswi sebuah institusi bernama universitas. Cantik, berkharisma, kembang desa bisa disematkan pada dirnya. Namun, dirinya selalu menampik semua lamaran laki-laki yang datang kepadanya dengan kalimat “Maaf, Mas. Saya bau kencur, mau nyium bau uang dulu”.

            Gadis penuh ambisi tapi tetap peduli orang tua. Patut bertepuk tangan. Tapi seperti dikata orang yang namanya ambisi kadang menjatuhkan diri sendiri. Seperti hari ini. Handini sedang bersiap untuk menuju sebuah perusahaan swasta yang sekiranya tidak begitu jauh dari desanya di bilangan kota Semarang.

Semangat dirinya berdandan selayaknya seorang putri mahkota yang hendak datang ke sebuah pesta penobatan. Memilih baju dengan semangat dari pasar. Baju terpilihnya. Yang ia kenakan sekarang. Sepasang pantofel usang pemberian Mbak Umih, kakaknya yang sekarang sedang bekerja di Ibukota. Ia kenakan dengan penuh semangat dalam setelan rok span terbaik berkisar zaman 60an. Cantik dengan kepang di kedua sisi kepalanya. Gadis desa polos namun ayu. Kendaraan yang dia punya hanyalah sepeda onthel berkarat milik mendiang ayahnya yang telah wafat 3 tahun silam. Sungguh kasihan, dimasa itu sehingga sang kakak harus lengang dari desanya ke Ibukota mencari rupiah untuk menghidupi ibu dan adiknya. Ayahnya hanya bekerja sebagai pederes nira aren di masa hidupnya. Mbak Umik bekerja sebagai buruh pabrik di bilangan Ibukota sejak 1,5 tahun silam.

            Handini mengayuh sepedanya begitu semangat. Jalan didesanya sebagian besar belum terlapis aspal kecuali jalan yang menuju batas kota.

Begitu semangatnya, hingga dia tidak memperhatikan jalan. Sebuah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa menyembul beberapa meter sebelum dirinya melintas. Kontan saja, dirinya terpental bersama sepedanya masuk ke dalam sawah yang sudah mengering, menjatuhi tanaman kacang yang lazim ditanam oleh para petani saat musim kemarau. Meringis kesakitan. Sepedanya penyok dibagian setang. Untungnya, ada seorang petani yang ternyata pemilik petak sawah itu juga, Pak Darmadi yang kemudian menolongnya bangkit. “Cah ayu, lapo nangis to. Meh lungo ndi?” tanya Pak Dar kepada Handini. Handini hanya terdiam, sembari menangis sambil mengucapkan “Matur sembah nuwun, Pak Dar”, lalu melenggang pergi.

            Masih menangis sembari menuntun sepedanya, Handini merasa dirinya tidak boleh menyerah, toh, kota tidak begitu jauh dari desanya. Dirinya menaruh sepedanya di bengkel Mas Supandi, sala seorang yang melamar namun ditolaknya secara halus, yang kebetulan ada di seberang jalan tempat tem-tem an angkutan menuju kota. “Kula nuwun, Mas Pandi, Saya mau nitip sepeda Saya disini, minta tolong di benahi”, timpal Handini. “Oh, nggih monggo, Mbak Dini, Tak gratisi saja, mau kemana memangnya?” Tanya Mas Pandi kepadanya.  Handini menolak lalu menjawab ada urusan di kota sambil belanja kebutuhan rumah karena stok persediaan makanan hampir habis. “Hati-hati, dikota banyak laki-laki mapan, jangan lupa Saya”, kelakar Mas Pandi. Handini tertawa sejenak kemudian menumpang salah satu angkutan kota yang kebetulan sedang berhenti disitu. Sampai dikota, dirinya menuju ke perusahaan swasta yang dirinya tuju. Ternyata tidak begitu jauh dari tempat dirinya turun dari angkutan kota.

Besar, megah, dengan pria dan wanita berseragam rapi dan bersih utamanya harum khas warga kantoran yang berseliweran disekitarnya kini.

Minder, itu yang kini dirasakan oleh Handini dalam situasi seperti itu. Dirinya berjalan, melihat dirinya yang begitu kalah rapinya dengan orang-orang disekitarnya dari kaca besar lobby kantor itu. Dirinya merasa diperhatikan banyak orang, semakin minder, dingin, dan ingin menangis rasanya Handini. Dirinya menuju ke ruang administrasi di lobby setelah sebelumnya bertanya kepada petugas keamanan. Banyak pelamar kerja lainnya yang penuh harap menunggu sebuah penerimaan bekerja dalam instansi tersebut, sama seperti dirinya.  Akhirnya tiba gilirannya dipanggil menghadap manager personalia perusahaan. “Saya Hermawati Kusumandianti, baik mba Handini Murtitati. Kamu mau kerja disini? Pendidikan terakhirmu apa?” tanya sang manager. Handini kagok. Dirinya diam sejenak. Kemudian dengan lirih mengucap “SMA”. Sang manager kemudian bertanya kembali. “Ada CV yang dilampirkan mbaknya?”. Handini kebingungan, perihal apa itu CV. “Itu kompetensi keahlian yang perlu dilampirkan untuk meyakinkan pihak kami atau perusahaan ataupun instansi pembuka lowongan tenaga kerja atas keahlian yang dipunyai oleh pelamar kerja, semacam sertifikat”.

Sertifikat. Handini baru mengetahui perihal tersebut. Kemudian dirinya melenggang sedih, menangis karena otomatis tertolak dengan alasan berkas yang sangat kurang.

            Handini kembali ke kediamannya. Sebelimnya menuju ke bengkel Mas Pandi, mengambil sepedanya yang telah direparasi, kemudian pulang ke rumahnya. Waktu menunjukkan saat sholat Dhuhur. Dirinya kemudian membersihkan diri kemudian menunaikan kewajibannya sebagai ummat Islam. Bersimpuh, menangis dalam doa-doa yang ia panjatkan dalam kebingungan.

            Keesokan harinya, dirinya terbangun lebih awal, menunaikan kewajibannya, kemudian bersiap berangkat ke tempat kursus yang diberitahukan oleh Tatik, sahabatnya. Mengapa menuju ke tempat kursus bukan mencari pekerjaan? Sertifikat kompetensi. Satu tahun sudah dirinya mengikuti kursus komputer hingga lulus mendapat predikat sangat baik dalam sertifikatnya. Merasa sangat bangga, ambisiusnya meningkat. Dirinya kemudian menuju rumahnya dengan begitu semangat mengayuh sepedanya. Dirinya tidak melihat ada sebuah lubang yang cukup besar penuh air didepannya. Akhirnya dirinya jatuh tersungkur didalam kubangan lumpur itu, dan sertifikatnya, yang ia dapatkan dengan susah payah, tenggelam bersama jeritan spontannya. Tangisnya meledak. Dirinya tumbuh putus asa. Ambisinya tercabik-cabik. Pedih rasanya melihat lembaran kertas itu mulai menyatu dengan air dan lumpur yang apabila diangkat perlahan saja, mungkin sudah koyak. Dirinya merasa sangat bodoh, percuma lama-lama ikut kursus tapi hasilnya jatuh di kubangan kerbau. Dirinya menyalahkan dirinya sendiri. Segalanya kotor. Badannya, wajahnya, sepedanya, bahkan hingga hatinya merasa kotor dan sangat bersalah atas kejadian itu. Kebetulan ada Mas Pandi lewat mengenakan motor yang lumayan mewah pada zaman itu. “Gek opo tah, Mbak Dini. Kenapa kotor begitu? Kenapa nangis begitu? Sini, Mas antarkan pulang. Sepedanya taruh rumah Pak Karsun dulu, nanti Mas yang ambil”. Sungguh, Mas Pandi masih tetap baik pikir Handini meskipun dirinya menolak lamarannya.

Handini kemudian membonceng Mas Pandi. Tanpa sadar ketika motor yang mereka tunggangi melewati batu yang mencuat dari balik tanah, spontan Handini memeluk Mas Pandi dengan begitu erat.

“Ngapunten, Mas, Saya ndak sengaja”. Muka Handini sontak memerah. “Alah sengaja yo gak opo, memangnya buat saya masalah, senang bikin kamu takut”. Mas Pandi berkelakar. Ah, pikir Handini. Sepertinya aku salah menolak Mas Pandi. Dirinya mapan tapi aku terlalu ambisius mencari uang tanpa berfikir diriku sendiri. Handini berfikir, Mamak pun pasti lebih setuju dirinya melepas masa lajang segera ketimbang mencari uang karena didesa adatnya perempuan dirumah tidak untuk bekerja. Handini akan berfikir ulang di part 2…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *