Kontrakan di Gunung Lawu

Aku mendengar geluduk kala itu. Awalnya tidak ‘ku hiraukan saja meski suara yang menggelegar tersebut dibarengi angin kencang yang membawa daun-daun menjadi berserakan di beranda kontrakan. Tidak ada yang mau ke luar rumah ketika langit sudah gelap seperti yang ‘ku lihat, semua orang lebih memilih mengurung diri, menonton Netflix dari akun ilegal, atau memasak Indomie campur nasi.

Namun, aku tinggal di daerah yang dingin yang sejajar dengan kaki Gunung Slamet. Aku pikir orang sudah terbiasa dengan udara dingin dan hujan tanpa henti—rekor yang ‘ku ingat hujan tak berhenti selama hampir sehari.

Aku sendiri tidak paham mengapa hujan yang terjadi di daerah ini begitu asal-asalan. Jika di kontrakanku hujan, di kos temanku yang hanya berjarak satu km ke utara begitu terik. Pernah aku bercanda dengan temanku bahwa hujan di kaki Gunung Slamet hanya ulah Tuhan yang sedang bosan dan menciprat-cipratkan air layaknya apa yang biasa kami lakukan setelah cuci tangan. Mungkin memang begitu adanya.

Ketika sedang duduk di beranda depan itulah teman di kontrakan menepuk bahuku dan ikut duduk. Kami terbiasa duduk berdua di bangku panjang dan mengobrol sembari menikmati dopamin dari nikotin, terkadang kami melinting sendiri kretek yang kami hirup.

Kami berbeda fakultas, tetapi karena perbedaan yang kami miliki, aku banyak belajar hal yang tak pernah aku dapatkan seumur hidupku mempelajari ilmu ekonomi. Bahkan hingga menjelang semester akhir ini aku tetap anak yang dulu. Anak yang masih kebingungan menyusun siklus jurnal, tak paham alur yang harus ditempuh meski memang aku paham mengapa dan bagaimana memperlakukan suatu akun ketika Tuhan berkehendak—atau ketika manajemen mengambil suatu keputusan.

Namun, sebagai seseorang yang diwajibkan untuk berpikir layaknya kaum terpelajar—dan aku tak pernah merasa diriku sudah dapat berpikir seperti itu—ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan merupakan suatu anugerah yang patut aku ucapkan terima kasih kepada keluarga yang sudah mendidikku demikian.

Ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan ini yang membuatku selalu penasaran terhadap hal-hal yang tidak sengaja tersampaikan oleh teman-temanku. Di kontrakan, di burjo, di masjid, di gereja, bahkan di warung depan gang aku selalu menuntut jawaban jika ada candaan saintifik yang terlempar dari mulut mahasiswa berbagai disiplin ilmu yang anehnya kaya dengan pengetahuan, tetapi begitu kikir dalam memilih makanan.

Datangnya pembahasan mengenai pembenihan ladang—matkul yang sedang ditempuh oleh temanku—seringkali menimbulkan pertanyaan lanjutan yang berkaitan. Kualitas tanah yang lekang seiring waktu, mismanajemen tanah yang mengakibatkan kesuburannya terkisis, hingga varietas tumbuhan aneh yang bisa ditanam di tempat yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

Sesederhana teknik mencangkul pun aku tahu dari mereka. Aku tak pernah sekalipun memegang cangkul di sawah meski, dan, ya harus kuakui ini lebih terkesan menyombongkan diri, aku pernah mencangkul untuk kerja bakti setelah adanya longsor, dan hanya sebatas kerja bakti saja.

Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman dan mendekatkan asbak, temanku membuka mulut dan bertanya.

“Signature?”

“Yoi”

Dan kami kembali diam menikmati suara kretek dari ujung rokok. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan olehnya, tetapi duduk di bangku beranda ini pikirku mengawang jauh, merenung kembali apa yang telah aku alami, yang telah aku syukuri keberadaannya.

 

 

Keempat mahasiswa yang menghuni kontrakan ini bukan manusia yang rajin datang ke kampus untuk berkumpul, berorasi, berdiskusi, atau entah apalagi hal-hal yang dilakukan orang-orang rajin selain diriku.

Keseharianku hanya berangkat untuk menghadiri kelas, makan rames, atau sesekali berolahraga—jangan pernah bilang kepada siapapun, aku terbiasa mengaku tidak suka olahraga. Namun agaknya di balik kemalasan kami, aku selalu melihat hal lain yang dimiliki oleh individu-individu kere di kampus ini.

Sekali waktu, kami bertujuh—bersama teman lain dari jurusan pertanian—berkumpul dan seperti biasanya yang pengangguran lakukan ketika saling bertemu, kami bermain gitar dan bernyanyi dengan paraunya hingga hampir tengah malam (di kemudian hari aku diceramahi oleh pemilik kontrakan karena hal ini).

Ada beberapa temanku dari fakultas lain yang berkata bahwa mereka memilih jurusan yang mereka pilih hanya karena tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan. Begitu banyak obrolan yang dibahas oleh anak-anak sekolahan ketika sudah lulus dan hendak melanjutkan ke bangku perkuliahan. Sayang sekali ada hal yang lebih esensial terlupa oleh mereka yang terlalu fokus mengejar titel universitas negeri.

Si anu les di situ, si itu les di sana.

Semuanya mempelajari materi tes masuk tanpa mengindahkan kemampuan yang harus dimiliki untuk ke depannya: berlogika. Ujungnya, ya, terdampar di hamparan padang tugas dan kehidupan berorganisasi tanpa rencana yang jelas. Makin ke sini makin ke sana.

Aku pikir memang tidak banyak manusia yang tahu apa yang ingin mereka lakukan. Kita semua hanya mengikuti alur yang sudah begitu adanya, dan peran yang terus kita mainkan akan menghiasi teater di mana Tuhan mencipratkan air setelah cuci tangan. Tidak terkecuali orang-orang yang senang menghabiskan waktu di kontrakanku.

Kami terbiasa berkumpul di ruang tengah kontrakan yang terlalu sempit untuk tujuh orang, tetapi menurut pandangku sendiri, justru hal ini yang membuat kami merasa dekat. Ruangan yang hanya mempunyai luas 3 x 4 meter ini bisa menjadi tempat naung candaan tidak jelas yang dengan semakin gelapnya malam, semakin tidak terjangkau oleh batas alam pikir penghuninya.

Ruangan ini aku rasa bisa menggapai apa yang tersirat di mata setiap orang, menerka pikir yang terlintas. Di setiap kepulan asap rokok dan tetesan kecap mendoan, selalu ada cerita yang membuatku terhenyak, tetapi memang tidak seharusnya mengherankan.

Di tengah pesimisme kami menghadapi dunia, aku selalu senang mendengar kalimat optimis yang terlontar. Kalimat optimis yang keluar dari mulut seorang realis yang tahu bahwa tujuannya mempunyai dasar dan tahapan yang jelas.

Seorang idealis, menurutku, mengilhami tujuan-tujuan besar yang tidak pernah terkirakan oleh alam pikir manusia dengan otak sebesar kecoa sepertiku. Namun, seperti kekagumanku terhadap cita-cita seseorang, entah seberapa mulia atau bobroknya, penting untuk dapat memiliki gambaran mengenai apa yang harus dilakukan. Dan itu wajib adanya.

Ada satu orang yang aku pikir memang dia senang mencangkul atau berkebun. Kami sudah berteman dekat ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di kontrakan. Aku ingat saat itu musim hujan belum tiba dan uang bulanan kami masih tersenyum setelah memproklamasikan kemerdekaan. Di tengah kepulan asap rokok berfilter di malam tersebut, dia bercerita mengenai harapannya memiliki suatu greenhouse dan ladang untuk dirawat olehnya pribadi.

Aku sendiri tidak paham detail dari sebuah ladang. Setelah mendengar penjelasannya dan sebagaimana pemikiran anak ekonomi, aku langsung terpikir mengenai rancangan biaya yang harus dipersiapkan, risiko yang mungkin terjadi dan upaya preventifnya, dan keuntungan pengembalian yang dapat didapat di jangka waktu tertentu.

Namun, temanku ini—yang aku kagumi niatnya—memang mungkin berpikir lebih simpel daripada diriku. Entah berapa puluh juta yang harus dibayar untuk sebuah tempat sederhana dibalut plastik dengan memperhitungkan pembelian tanah, biaya pemeliharaan, dan peralatan serta perlengkapan yang harus disediakan. Pun entah apa yang dipikirkannya ketika tempat itu tidak untuk komersialisasi, tapi sekadar memenuhi kecintaannya terhadap berkebun, atau mungkin, ya, mencangkul.

Sekarang kabarnya dia pun sedang belajar praktik mengenai riset dan pengembangan varietas tumbuhan kebun. Tangga pertama sudah dipijaknya, dan aku menunggu apa yang akan diambil selanjutnya. Aku selalu mengharap pijakan pertamanya akan berat, terlalu berat untuk kaki cungkringnya. Aku ingin otot kakinya rusak dan memperbaiki diri, bersiap dan lebih kuat untuk pijakan tangga berikutnya.

Memang manusia seperti itu diperlukan dunia. Seorang terpelajar yang ingin memuaskan keingintahuannya untuk aktualisasi diri, bukan hanya money money money. Semoga saja temanku ini merupakan orang goblok yang dapat membuat dunia lebih baik. Meski sedikit yang dapat disumbangkan untuk peradaban yang terlalu besar, aku tetap optimis dengan kata sedikit tersebut.

Temanku yang lain yang mungkin senang mencangkul juga—tetapi selalu misuh ketika kulitnya menghitam setelah seharian di ladang—berencana mengambil tes masuk PNS seperti yang telah dilalui oleh kedua orangtuanya. Entahlah apa hubungannya kesenangan dia mencangkul dengan rencananya bekerja sebagai PNS. Mungkin PNS di bidang pertanian. Namun, tetap saja aku heran.

Aku tidak meragukan tujuan mereka. Sejauh yang aku tahu, mereka lebih memahami ilmu yang mereka pelajari di pertanian dibandingkan dengan aku yang masih terengah-engah memahami apa yang disampaikan di kelas ekonomi. Mungkin memang aku tidak memiliki kecakapan untuk mengejar cara berpikir pengajar di kelas, dan aku masih menyesal dan akan terus menyesal karenanya.

Di dalam benakku yang meronta bersama keinginan untuk berlaku lebih baik dan menghapus penyesalan tadi, terselip suatu iri hati kepada mereka yang sudah tahu ke mana setir akan diarahkan. Kapan waktu terbaik untuk menekan tuas kopling, melepasnya dengan tarikan gas, dan paham bahwa perlu adanya rem yang baik agar kepala tidak terjeduk dan buyar di belakang truk yang mengerem mendadak.

Nampaknya tarikan gas yang aku pegang masih tertahan oleh blok kopling dari tuas yang tidak berani aku lepas perlahan. Aku sadar dengan sepenuh hati bahwa rutinitas membeli rames di tempat yang sama selama bertahun-tahun tidak akan membuatku berkembang—kecuali di lingkar pinggang. Mungkin dan hanya kemungkinan saja jika Warren Buffet atau Michael Burry kebetulan membeli rames capcay dengan semur ayam rica-rica, akan ‘ku tanyakan bagaimana mereka dapat berpikir logis menerka arah fluktuasi valuasi saham.

Namun, sejak kapan Michael Burry menyukai rames? Atau mungkin dibandingkan mengharap suatu probabilitas Burry memesan capcay di jalan sempit yang menghubungkan dua gedung utama kampus di mana mobil berjejer tidak karuan—yang menyebabkan kemacetan sepanjang 50 meter setiap pagi dan siang hari—ada baiknya aku yang harus menyesuaikan tempat makan yang cocok untuk dapat bertemu. Ya, ya. Mengapa pula tidak terpikir olehku untuk menyesuaikan diri dengan orang lain daripada memaksa mereka untuk mengikuti kehendakku?

Lagipula beberapa bulan lagi kami akan berpisah, memilih menjadi dewasa. Membiasakan diri bahwa kontrakan ini adalah tempat aman untuk bernaung sementara. Tidak ada lagi rutinitas membeli rames atau menghadiri kelas.

Atau mengawang, memimpikan hal luar biasa di tengah kepulan asap rokok dan sepinya malam berselimut hujan .

 

 

Setelah ritual mengawangku usai, dengan dibarengi candaan, aku bertanya:

Apakah aku akan diundang di pernikahan dia nanti?

“Boleh. Entar gue kirim undangannya.”

Aku tertawa dan kembali bengong sejenak, kemudian dibarengi senyum yang tanggung, ‘ku katakan.

“Gue pernah bilang ‘kan gue bakal beli Supra kalau udah banyak duit. Nanti gue bakal punya supir, terus disupirin pake Supra buat ke kawinan lu.”

Kami pun tertawa karena Supra yang aku maksud bukanlah mobil seharga dua miliar, tetapi motor berkubikasi 97 cc yang biasa dipakai oleh bapak-bapak mengantar istri masing-masing ke pasar.

“Supir lu pakein jaket Gojek dah.”

“Iya nanti gue pake helmnya juga Arai, dicat ijo-ijo Gojek.”

“Atau Shoei catnya oren, entar jadi Shoeifood.”

Orang-orang yang menyimak percakapan kami akan heran melihat kami tertawa tanpa henti hanya karena candaan tidak jelas tersebut. Namun, agaknya kami memang mahasiswa yang sama tidak jelasnya.

“Tapi, ya, semuanya sih gampang kalo udah banyak duit.”

“Iya. Semuanya gampang kalo banyak duit.”

“Entar juga kita banyak duit.”

“Satu tahun lagi.”

“Satu tahun lagi.”

Dan bersama asap rokok yang keluar dari mulut, arah mataku mengikutinya.

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Unjuk Karya Maret 2023

Karya: Dila Maria Shanty

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *