Aksi Hari Buruh & Hardiknas: Membuka Mata Pemerintah pada Kesejahteraan Umum

Purwokerto – campussia.com. Arak-arakan mahasiswa dari beberapa universitas di Banyumas melakukan aksi di alun-alun Purwokerto pada Jumat (3/5). Aksi yang bertajuk “Naikkan Upah Buruh dan Berikan Pendidikan Gratis untuk Menunjang Kesejahteraan Umum Rakyat Indonesia” itu digelar dalam rangka memperingati Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional yang masing-masing jatuh pada tanggal 1 dan 2 Mei.

Gabungan mahasiswa yang terdiri dari DEMA UIN Saifuddin Zuhri, BEM Universitas Wijaya Kusuma, BEM Amikom Purwokerto, BEM IT Telkom, BEM UMP, serta BEM Unsoed melakukan persiapan di halaman depan rektorat UIN Saifuddin Zuhri sekaligus sebagai titik kumpul sejak pukul 13.00 WIB. Mereka memulai aksi sekitar pukul 15.30 di bagian selatan alun-alun Purwokerto. Pada pukul 16.52 WIB, massa bergerak ke depan kantor Bupati Banyumas untuk memanggil atensi dari pemerintah Kabupaten Banyumas. Aksi tahunan yang dikawal oleh sejumlah aparat kepolisian ini berlangsung damai dan berakhir pada pukul 17.29 WIB.

Perwakilan mahasiswa dari setiap kampus melakukan orasi secara bergantian di atas sebuah mobil pick up. Mereka menyuarakan keresahan dan tuntutan mereka berkaitan dengan isu pendidikan dan buruh di negeri ini. Para mahasiswa berharap aksi yang mereka lakukan dapat membuka mata pemerintah untuk memperbaiki kebijakan supaya pemerintah tidak membuat aturan-aturan yang merugikan rakyat.

“Orang tua saya juga buruh. Kami mengalami sendiri ketika ada perubahan Undang-Undang Cipta Kerja atau undang-undang yang lain. Itu terkadang, beberapa pegawai atau beberapa buruh di-PHK karena alasan-alasan tertentu. Pihak-pihak pabrik atau pihak-pihak perusahaan itu sering menyalahkan pemerintah, karena perubahan ini pasti berdasar dari pemerintah pusat yang mana hal ini dapat merugikan beberapa orang. Tentunya rata-rata buruh di Indonesia,” ucap Bagus, mahasiswa UMP.

Selaras dengan Bagus, salah seorang demonstran dari Unsoed yang bernama Hafizh berpendapat bahwa UU Ciptaker harus dicabut. Undang-undang ini dianggap merugikan posisi para pekerja. Alih-alih menjawab permasalahan dalam undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja ini justru dinilai mencederai hak-hak buruh.

“Secara umum, masyarakat Purwokerto ini mayoritas buruh, sadar tidak sadar. Nah, yang kita tuntut salah satunya adalah kenaikan upah minimum kabupaten Banyumas, yang itu relatif lebih rendah di seluruh kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Itu yang jadi keresahan kita sebenernya. Kemudian yang kedua adalah, selain kenaikan upah minimum, kita juga menuntut melalui aksi kampanye ini ke semua pihak, termasuk masyarakat ataupun pegawai pemerintah daerah, khususnya Bupati Banyumas untuk berupaya menolak penerapan Perppu Ciptaker. Ini terus menjadi isu perburuhan yang utama. Jadi bukan hanya kenaikan UMR, bukan hanya tentang kesejahteraan buruh, tetapi secara konkret ada persoalan yang memang itu sangat komprehensif dan holistik mencakup semua aspek isu perburuhan yakni UU Cipta Kerja,” Tutur Hafizh Baihaqi.

Selain isu perburuhan, mahasiswa juga gencar mendengungkan kasus-kasus yang melanda Pendidikan di Indonesia. Momentum hari pendidikan nasional ini mereka manfaatkan untuk mengangkat isu yang sedang hangat diperbincangkan selama beberapa hari ke belakang, yakni isu kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Naiknya UKT setelah kebijakan pemerintah tentang SSBOPT (Sistem Standarisasi Biaya Operasional Perguruan Tinggi) tersebut dialami oleh kampus-kampus negeri di Indonesia, tak terkecuali Unsoed.

Menurut mereka, pendidikan adalah sesuatu yang seharusnya bisa diakses oleh semua kalangan. Para siswa yang baru lulus sudah sepantasnya bisa merasakan pendidikan universitas yang sama. Mereka menilai, pengangguran di Indonesia sangat banyak karena mereka tidak bisa mengenyam ilmu yang sesuai kebutuhan mereka karena tingginya biaya pendidikan di Indonesia.

“Secara filosofis, kita memahami bahwa pendidikan itu sebagian dari tujuan nasional kita. Di satu sisi, dua puluh persen alokasi dari anggaran pendapatan belanja negara itu memang dikhususkan melalui pendidikan. Nyatanya pedidikan kita masih, ternyata negara belum bisa menjamin pendidikan itu dapat diakses untuk semua kalangan. Kita tidak muluk-muluk berbicara soal pendidikan gratis. Tapi sebelum-sebelum itu kita berbicara soal pendidikan yang bisa diakses oleh semua kalangan, dan itu yang hilang dari negara kita, temen-temen,” tambah Hafizh.

Reporter: Anisa Nur Mareta, Fina Anis Amintarti, Zulfatun Musyarofah | Penulis: Anisa Nur Mareta | Editor: Nita Maysaroh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *