MENCARI JEJAK PENDOSA

MENCARI JEJAK PENDOSA

[Ulasan Novel “Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa”]

oleh: Gabrielle Arthour Jonathan

Judul buku: Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa

Penulis: Remy Sylado

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun terbit: 1999 (cetakan pertama)

Tebal halaman: 404 halaman

Sinopsis Cerita

Novel ini dimulai dengan cerita yang dinarasikan oleh Nyonya Dijkhoff, seorang perempuan lanjut usia yang melakukan perjalan dari Belanda ke Jakarta, untuk mencari asal-usul keluarganya. Nyonya Dijkhoff memulai dengan bercerita mengenai ibunya, Siti Nurhayati atau yang akrab dipanggil Tinung, seorang perempuan Betawi yang diperistri oleh orang Tionghoa. Dia menceritakan, dalam hidup Tinung terdapat dua orang Tan Peng Liang, yang dari keduanya Tinung hamil dan melahirkan 2 anak perempuan, salah satu dari anak perempuan itu adalah Nyonya Dijkhoff. Perjalanan ini dinarasikan dengan sangat menarik oleh Remy Sylado, “SAYA ke Jakarta mencari jejak pendosa”, kalimat ini juga menjadi kalimat pertama yang mengawali cerita dari novel ca-bau-kan.

Tinung dikisahkan menjadi dewasa terlalu cepat, pada umur 14 tahun Tinung telah menikah. Namun naas, pernikahan yang baru berjalan 5 bulan harus kandas lantaran suami Tinung yang berprofesi sebagai nelayan, hilang terbawa ombak. Setelah sang suami dinyatakan hilang di laut, Tinung yang buta huruf kemudian di usir oleh sang mertua dari rumah suaminya. Ketika diusir oleh sang mertua, Tinung sedang dalam kondisi hamil.

Tinung yang bingung, akhirnya pulang kembali ke rumah orang tuanya. Kemudian karena beberapa kejadian, Tinung akhirnya mengalami keguguran. Setelah keguguran, atas dorongan dari ibunya, Tinung berangkat ke Kali Jodo untuk menjadi seorang ca-bau-kan. Ca-bau-kan yang berasal dari Bahasa Hok-Kian, diartikan sebagai perempuan pribumi yang diperistri oleh orang Tionghoa dalam status yang tidak selalu legal atau mempedulikan hukum. Namun ca-bau-kan atau yang disingkat sebagai cabo, kerap kali juga diartikan sebagai perempuan penghibur.

Di Kali Jodo kemudian Tinung bertemu dengan Tan Peng Liang asal Bandung, seorang pemilik kebun pisang di Sewan, Tanggerang. Oleh Tang Pen Liang Tinung kemudian diajak untuk tinggal di perkebunan pisang miliknya. Setelah beberapa lama tinggal di sana, Tinung akhirnya hamil.

Namun, Tan Peng Liang yang juga menjalankan bisnis rente, merupakan orang yang akrab dengan kekerasan. Tinung kerap kali mendengar dan melihat orang dipukuli di kebun pisang itu, puncaknya adalah Tinung melihat orang dipenggal dihadapannya. Setelah kejadian itu, Tinung mengalami trauma dan memutuskan untuk kabur.

Setelah kabur, Tinung akhirnya kembali lagi ke Kali Jodo untuk menjadi seorang cabo. Dalam kondisi hamil pun Tinung tetap menjadi idola di Kali Jodo, hingga dijuluki si chixiang bunting. Setelah kembali ke Kali Jodo ini lah Tinung oleh sepupunya, orang yang sama yang mengajak Tinung ke Kali Jodo, mengajaknya untuk bertandang ke tempat seorang Tionghoa yang juga seorang pelatih cokek bernama, Njoo Tek Hong.

Oleh Njoo Tek Hong, Tinung dan sepupunya diajak untuk ikut bersama orkes gambang kromong asuhannya, sebagai pengisi acara yang diadakan oleh komunitas Tionghoa. Pada kesempatan ini lah Tinung bertemu dengan Tan Peng Liang asal Semarang, seorang pedagang tembakau dan candu yang sukses di Batavia (nama Jakarta semasa pemerintahan Hindia-Belanda). Oleh Tan Peng Liang, Tinung yang ketika itu belum dapat bernyanyi dan menari cokek, ditantang jika ia dapat bernyanyi dan menari, akan diberi bayaran 10 kali.

Tan Peng Liang asal Semarang adalah seorang pedagang tembakau dan candu yang usahanya berbasis di Batavia. Usaha temabkau dan candu milik Tan Peng Liang menanjak dan menjadi sukses hanya dalam waktu yang singkat. Selain itu, dalam praktik kesehariannya sebagai pedagang, Tan Peng Liang dianggap sebagai ancaman oleh Kong Koan, majelis khusus yang dibentuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda untuk mengurus komunitas Tionghoa. Konflik dengan Kong Koan ini lah, yang nantinya akan menjadi pokok cerita yang merubah hidup tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita.

Setelah pertemuan itu, tentunya juga setelah Tinung melahirkan anaknya dari Tan Peng Liang asal bandung, Tinung kemudian belajar bernyanyi dan menari di bawah arahan Njoo Tek Hong. Sekian lama berlatih, akhirnya tiba waktu Tinung untuk tampil dalam acara Peh Cun, di mana ia akan bertemu kembali dengan Tan Peng Liang asal Semarang. Tan Peng Liang yang kala itu telah menarik perhatian Kong Koan, datang ke acara Peh Cun dengan cara yang cukup eksentrik hingga akhirnya terjadi keributan.

Pada akhir acara Peh Cun yang mengalami keributan itu, Tan Peng Liang melihat Tinung bernyanyi dan menarik cokek pada acara itu. Setelah melihat Tinung yang kala itu sudah melahirkan dan sudah dapat bernyanyi serta menari, Tan Peng Liang kemudian mengajak Tinung untuk tinggal bersama di rumah miliknya di Gang Chaulan. Rumah di mana nantinya ke dua anak perempuan Tinung, yang namanya sama-sama Giok Lan akan tumbuh besar, sebelum pada akhirnya kedua Giok Lan diadopsi oleh orang Belanda ketika Tan Peng Liang bermasalah dengan hukum dan masuk penjara.

Perkenalan saya dengan novel ini terbilang terlalu dini, ketika itu saya masih duduk di sekolah dasar. Orang-orang di rumah saya seperti ibu, tante, kaka sepupu dan anggota keluarga yang sudah menjadi dewasa secara umur, saling bergantian membaca buku ini kemudian membahasnya di ruang keluarga. Saya yang saat itu masih tergolong anak kecil tidak pernah diizinkan untuk membaca buku yang di karang oleh Remy Sylado ini. Tentu saja, alasannya adalah umur saya yang dianggap terlalu dini. Menurut orang rumah, konten dalam buku ini terlalu eksplisit untuk saya yang ketika itu mungkin masih berumur 8-9 tahun. Padahal ketika itu saya telah kehabisan bahan bacaan setelah membabat habis semua judul Sherlock Holmes yang bisa saya dapatkan di toko buku. Baru setelah lebih dari 15 tahun kemudian saya dapat membacanya, itu juga dari buku pinjaman yang diberikan oleh bapak kos saya.

Lewat novel ini, pembaca seakan diajak oleh penulis untuk menyelami kondisi sosial masyarakat pada masa-masa ketika umur kolonialisme mencapai usia senja, hingga masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Lebih dekatnya lagi untuk melihat bagaimana peran komunitas Tionghoa dalam masa pergolakan kemerdekaan Indonesia. Seperti bagaimana dituliskan oleh penerbit pada halaman sekapur sirih buku ini, bahwa buku ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan pandangan bahwa komunitas Tionghoa, juga andil dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Hal yang paling membuat novel karangan Remy Sylado ini menarik untuk dibaca adalah deskripsinya yang begitu mendetail mengenai latar cerita. Remy menuliskan dengan sangat detail bagaimana gambaran situasi dalam latar cerita. Seperti ketika ia menuliskan deskripsi cerita ketika Tinung dijemput oleh Tan Peng Liang asal Semarang untuk tinggal di kediamannya di Gang Chaulan, ia memberikan gambaran yang lengkap di mana mobil berbelok, latar pemandangan sepanjang jalan, bahkan hingga bagaimana bunyi roda ketika mobil memasuki pekarangan rumah. Ia mampu menghadirkan deskripsi yang begitu mendetail hingga seakan-akan mengajak pembacanya tenggelam menjadi bagian dari latar cerita itu.

Remy juga benar-benar menggunakan pengetahuannya mengenai kebudayaan Tionghoa, Betawi, Belanda bahkan kebudayaan Jawa sebagai unsur kebudayaan dalam menuliskan latar cerita dalam novel ini. Walau banyak memasukan unsur berbagai macam kebudayaan ke dalam cerita, Remy terfokus dalam menyajikan kebudayan-kebudayaan Tionghoa, sesuai dengan tema novel ini yang memang ingin mengangkat cerita mengenai komunitas Tionghoa. Sekali lagi, dengan gaya deskripsi ceritanya yang mendetail, Remy seakan membuat pembacanya dapat melihat lebih dekat bagaimana kehidupan komunitas Tionghoa di Indonesia.

Selain unsur kebudayaan, realisme fiksi yang dihadirkan di dalam cerita dengan menggabungkan fakta sejarah sebagai bagian alur cerita, juga sangat berhasil menghadirkan gambaran yang mendetail mengenai latar cerita. Remy memasukan banyak unsur sejarah di dalam novel ini dan kemudian ia gabungkan dengan alur cerita yang sedang berjalan, sehingga menghasilkan cerita yang seakan-akan kisah ini bukan lagi kisah fiksi, tapi merupakan sejarah yang faktual. Dengan masuknya unsur sejarah yang cukup mendetail ini, pembaca diajak untuk mengetahui detail-detail sejarah yang terkadang tidak masuk ke dalam buku sejarah formal di sekolah. Seperti bagaimana prostitusi di kawasan Kali Jodo ternyata sudah eksis sejak dahulu. Atau bagaimana sejarah mengenai kehidupan komunitas Tionghoa semasa penjajahan.

Lebih menarik lagi, dalam menceritakan semua ini, Remy kerap kali menggunakan gaya bahasa yang terbilang puitis. Banyak dalam deskripsinya, Remy menuliskan kalimat-kalimat yang cukup puitis untuk menggambarkan suatu situasi atau pun pergolakan pemikiran dari tiap karakter dalam cerita ini.

Kembali lagi ke bagaimana Remy mampu menghadirkan unsur kebudayaan yang mendetail, hal ini juga tercermin dari gaya bahasa yang ia gunakan ketika menuliskan dialog para karakter. Dialog para karakter, dituliskan oleh Remy dengan menggunakan gaya bahasa yang mencerminkan dari kebudayaan mana karakter itu berasal. Misalnya, dalam setiap dialog Tinung selalu dituliskan menggunakan bahasa Betawi. Dialog para anggota komunitas Tionghoa yang menggabungkan bahasa dan aksen Tionghoa dengan bahasa lokal. Atau pun setiap berita yang diterbitkan oleh Betawi Baroe, dituliskan menggunakan ejaan yang belum disempurnakan.

Lewat kalimat “Yang saya marah, kalau anda kira ca-bau-kan atau cabo itu perempuan yang tiada bermoral. Ini pembelaan. Bukan hanya pembetulan”, yang dinarasikan oleh Nyonya Dijkhoff, penulis juga seakan sedang meruntuhkan persoalan stereotip yang muncul dari sebuah julukan, dalam kasus ini julukan bagi pekerja seks komersial. Juga sekaligus meruntuhkan pandangan bahwa permasalahan utama seorang pekerja seks komersial bukan karena rusaknya moral mereka. Namun, jauh lebih fundamental dari hanya sekedar moral, permasalahan yang memaksa seseorang menjadi pekerja seks komersial adalah permasalahan ekonomi.

Seperti pada karyanya yang lain, Remy Sylado tak luput juga membumbui novel ini dengan kritik sosial yang tersebar sepanjang alur cerita. Namun, menurut saya pribadi, kritik terbaik yang disertakan oleh Remy ini terdapat pada bagian epilog. Sekali lagi melalui narasi yang dibawakan oleh Nyonya Dijkhoff, ia menuliskan “sementara wasangka tribalistik terpelihara samar di balik politik kekuasaan, mengakibatkan hak-hak kebebasan sipil terpasungkan, dan akhirnya tampak demokrasi merosot jadi sekedar swalayan bibir demokrasi”. Remy menulis kalimat tersebut sebagai komentar terkait dengan proses pemerintahan yang totalitarian, di mana segala aspek kehidupan masyarakat ditentukan oleh negara, tentunya dengan penuh paksaan. Setelah lebih dari 20 tahun ditulis, kritik yang ditulis oleh Remy masih relevan menggambarkan kondisi sosial politik hari ini.

Sebagaimana novel ini dimasukan ke dalam kategori historical romance, maka tak luput lah cerita ini dibumbui oleh unsur romannya. Pada bagian ini Remy berhasil menghadirkan sebuah kisah romansa antara Tinung dan Tang Peng Liang asal Semarang, yang mendalam dan jauh dari kesan picisan. Oleh penulis, hubungan mereka tidak digambarkan dengan cara yang menggebu-gebu yang diungkap lewat kata-kata. Namun perasaan mereka digambarkan melalui gejolak perasaan dan juga tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Seperti ketika Tan Peng Liang dalam pelariannya, Tinung tetap memegang teguh perasaanya untuk Tan Peng Liang. Bahkan ketika dia harus kembali menjadi cabo di Kali Jodo, yang dia lakukan karena keterpaksaan, Tinung sempat diajak untuk menikah oleh salah seorang pelanggannya, namun kemudian ia tolak karena ia masih memegang teguh rasa setianya kepada Tan Peng Liang.

Pun sebaliknya dengan Tan Peng Liang yang diceritakan memang memegang prinsip keluarga adalah tempat untuk kembali pulang. Setelah sekian lama hidup dalam pelarian, Tinung adalah orang yang selalu terbayang dalam pikirannya dan menjadi motivasinya untuk segera pulang ke Indonesia. Tindakan Tan Peng Liang yang juga tetap mencintai Tinung, bahkan setelah Tinung menjadi jugun ianfu, merupakan gambaran unsur roman yang begitu baik digambarkan oleh penulis.

Kepiawaian Remy dalam menuturkan cerita dalam novel “Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa” menjadikan novel ini dapat dikategorikan novel yang patut kita baca. Sebagai gambaran untuk melihat bagaimana realita masyarakat pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga sebagai salah satu karya sastra yang mengagumkan.

*Remy Sylado merupakan nama pena dari seorang Yapi Panda Abdiel Tambayong. Seorang sastrawan cum seniman yang telah menghasilkan banyak karya baik sastra maupun karya seni lainnya seperti musik dan produksi pentas teater. Selain sebagai seniman, Remy juga dikenal menekuni berbagai profesi seperti jurnalis, dosen, penata rias, hingga aktor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *