Shining Heart Berduka

Aku tahu, pada akhirnya, hari ini akan tiba. Hari di mana kami harus merelakan Nathan Holster ke tempat yang lebih indah. Dia tidak lagi menderita. Nathan tak perlu lagi menahan rasa sakit seperti ketika kanker limfoma masih berkeliaran dalam tubuhnya. Sekarang dia pemuda yang bebas di alam yang berbeda.

Pemakaman, tangisan, kekosongan. Kami tahu ini semua akan terjadi. Namun, tidak ada yang menyangka waktunya secepat ini. Sekalipun kami bisa menyiapkan diri lebih lama, duka yang menyelimuti akan tetap sesakit ini. Mum menangis berjam-jam di kamar Nathan. Aku membawa makanan agar setidaknya dia bisa mengisi perut sedikit, tetapi aku malah berakhir di sebelah Mum—kami berpelukan dengan air mata berlinang.

“Dia baru saja pergi dan aku sudah merindukannya,” bisik Mum, suaranya bergetar.

Kemudian aku harus turun untuk mematikan telepon yang berdering. Keluarga yang tengah berkabung tidak mengangkat telepon dari siapa pun dan membiarkan pesan mereka masuk kotak suara. Aku mengenyakkan tubuh di sofa ruang tengah, merenungkan bagaimana aku menjalani hari-hari ke depannya tanpa kehadiran kakakku. Siapa yang bakal berebut remot TV denganku nanti? Siapa yang tiba-tiba mencuri camilan dari piringku lagi?

Aku membuka ponsel untuk melihat foto-foto kami, membaca percakapan tidak jelas kami. Orang-orang mengirimkan pesan belasungkawa, tetapi ada nomor asing yang memperkenalkan diri sebagai Violet—teman Nathan dari Shining Heart, katanya—yang memberitahu kalau dia mengadakan pertemuan Shining Heart untuk mengenang kakakku.

Rumah terasa senyap. Tidak ada makan malam keluarga karena Mum masih berduka, aku tak berselera, dan tidak ada lagi anggota keluarga selain kami berdua. Aku merasa kesepian, jauh dari Nathan yang biasanya ada di dekatku walaupun hanya untuk mengganggu. Jadi pukul tujuh malam aku pergi ke alamat yang dikirimkan Violet, berharap dengan menghadiri pertemuan Shining Heart aku bisa mengenang kakakku melalui cerita teman-temannya.

Shining Heart merupakan organisasi berbasis komunitas bagi para penyintas kanker jenis apa pun di kota kecil ini yang diikuti Nathan cukup lama. Mereka sering melakukan pertemuan di sebuah bangunan kecil yang sepertinya menjadi rumah mereka. Lokasinya tidak jauh, hanya sepuluh menit jalan kaki dan aku langsung disambut hangat oleh Violet ketika tiba. Semua orang telah berkumpul di ruangan depan—sekitar dua belas orang—duduk melingkar dengan teh hangat mengepul. Di tengah lingkaran, ada setumpuk bunga yang mengelilingi foto tampan Nathan berkemeja hitam. Violet mengumumkan kedatanganku, lalu kami semua bertukar nama.

“Terima kasih sudah datang,” kata cewek berkacamata yang mengenakan sweter kedodoran. Lizzy namanya, mereka saling memanggil dengan nama depan untuk memperkuat keakraban.

“Sekali lagi, kami turut berduka cita, Cassie.” Willie, pemuda dengan penutup kepala biru tua tersenyum tipis “Kami senang bisa mengenal kakakmu.”

“Beberapa orang tidak bisa hadir karena kesehatan mereka,” ucap Violet setelah menuangkan teh untukku. Kemudian aku baru sadar semua orang di ruangan ini mengidap penyakit kanker, berusaha untuk tetap hidup melawan umur yang sedikit, dan kini mereka kehilangan salah satu teman seperjuangan.

Violet memimpin, dia menerangkan aturan main yang sangat sederhana. Setiap orang bergantian menceritakan entah itu pengalaman, kesan pesan, atau pikirannya tentang Nathan Holster. Logan, kelihatannya seumuran kakakku, mengajukan diri untuk bercerita lebih awal.

“Aku cukup dekat dengan Nathan,” tuturnya. “Tapi momen terbaik ada pada suatu malam saat aku tidak bisa tidur. Aku menemukan dia duduk sendirian di bangku depan, bermain gitar sambil bersenandung. Aku menghampirinya dan kami mengobrol dua jam tentang musik dan hal-hal lain yang hanya dibicarakan antarcowok seolah kami hanya teman sekamar yang sedang nongkrong seperti biasa. Dia menyenangkan, walau terkadang selera humornya payah.”

Aku tersenyum kecil mendengar kalimat terakhirnya. Sesak dan hangat berseteru di dadaku. Rasanya menenangkan bahwa aku masih bisa bertemu Nathan melalui cerita-cerita anggota Shining Heart di sini. Namun, kenyataan bahwa kami tidak dapat benar-benar bertemu lagi menghantam ketenangan itu.

“Aku mengenal Nathan di minggu rutin ketigaku sejak aku bergabung dengan Shining Heart.” Sekarang Lizzy yang bercerita. “Kami menunggu taksi bersama, lalu ada seorang bocah gemuk yang terjatuh dari sepeda. Kakinya lecet, tidak bisa berjalan. Jadi aku menuntun sepedanya dan Nathan menggendong bocah itu, kami mengantarnya sampai rumahnya yang berjarak tiga blok. Aku langsung mendapatkan taksi setelah itu, arah kami berlawanan jadi Nathan masih harus menunggu taksinya. Lantas ketika taksiku jalan, aku melihatnya menunduk, hidungnya meneteskan darah.”

Aku termangu, membayangkan itu terjadi lagi. Seberapa sering dia berdarah seperti itu dan mengapa dia tak pernah memberitahuku atau Mum tatkala sakitnya menyerang?

“Mungkin karena menggendong bocah gemuk itu, dia kelelahan,” lanjut Lizzy. “Aku langsung meneleponnya dan dia bilang dia baik-baik saja. Tapi aku takjub, dia tetap menggendong bocah itu dan mengajaknya mengobrol seolah dia sedang ceria dan tidak kesakitan. Dia menahan rasa sakit demi orang lain dan menyembunyikannya untuk dirinya sendiri. Aku yakin dia tidak pernah berhenti melakukannya. Nathan berhati malaikat.”

Aku mengangguk pelan, merasa sedih. “Dia memang seperti itu, ingin terlihat baik-baik saja agar orang lain tidak perlu mengkhawatirkan dirinya.”

Cerita berlanjut ke orang berikutnya. Semakin banyak kenangan yang dibagikan, semakin aku merasa lebih dekat dengan Nathan. Setiap kalimat yang terucap tentang kakakku itu, aku membuat gambaran sendiri senyata mungkin di kepalaku. Aku akan menyimpan semua cerita ini untuk diingat tatkala aku merindukannya nanti. Dengan begitu, Nathan akan terus hidup di sekitar kami.

“Untuk Nathan, terbanglah sejauh mungkin. Tidak ada yang menghalangi ke mana kamu berkelana sekarang. Melesat hebat dan jangan berhenti. Kau bersinar.” Daisy memberikan puisi singkatnya dengan nada yang menggebu-gebu.

Violet bersandar pada tiang pembatas tatkala hendak bercerita. “Satu hal dari Nathan yang akan selalu kugenggam erat. Dia pernah mengajakku berkeliling kota, pergi ke tempat-tempat sederhana yang anehnya terasa menakjubkan ketika bersamanya. Dia membuatku merasa sehat, bebas, kau tahu—seakan kami tidak punya kanker dan melupakan kekhawatiran bahwa hidupmu sebentar lagi berakhir. Aku ingin kalian semua tahu, Nathan tidak menyerah pada penyakitnya. Penyakitnyalah yang menyerah kepadanya.”

Kemudian giliranku tiba. Sejenak jantungku menyusut, merasa pilu karena harus mengingat sosok Nathan ketika aku tidak pernah melupakannya, harus menceritakan tentangnya ketika yang kuinginkan adalah menciptakan cerita bersamanya. Aku mengatur napasku dan berusaha menahan air mata.

“Aku masih kecil saat Nathan didiagnosis kanker limfoma. Tahu-tahu saja kami sering pergi ke rumah sakit dan tahu-tahu saja dia sudah stadium tiga.” Rasa sakit yang dulu melebur dengan rasa sakit sekarang, suaraku bergetar. “Dia kakak yang baik, menjengkelkan, dan penyayang. Dia anak yang baik, keras kepala, dan perhatian. Dia satu-satunya lelaki yang ada di keluarga kami, dia yang terbaik.”

Kutarik lututku ke dalam dekapan, menahan dada yang bergemuruh akibat duka yang mendalam. Aku memandang bunga-bunga di tengah ruangan. “Nathan pernah hampir menyerah pada hidupnya jauh sebelum ini. Dia berbohong pada Mum, dia tidak meminum obat-obatnya. Alih-alih, dia mengumpulkan pil tersebut dan berniat menenggaknya agar tewas overdosis. Dengan begitu kami tidak perlu lagi mengeluarkan waktu dan biaya untuk pengobatannya. ‘Toh, pada dasarnya itu yang kita semua tunggu. Kematianku,’ tuturnya begitu. Aku hanya bisa menggeleng dan berkata ‘Bukan itu. Bukan kematianmu yang kita tunggu. Perjalanan hidupmu. Kita menunggu cerita hidupmu yang luar biasa. Kau tidak boleh berhenti tiba-tiba.’ Entah kata-kata itu berpengaruh atau tidak.

“Sampai akhirnya dia menemukan kalian, Shining Heart. Katanya, dia menemukan tempat di mana dia bisa belajar banyak hal,  tempat di mana dia mewujudkan mimpi-mimpi kecilnya, tempat di mana dia mendapatkan teman. Teman yang sama-sama berjuang untuk hidup, teman yang mampu mendengarkan tanpa menghakimi, teman yang tidak perlu banyak bicara untuk bisa saling memahami. Dia belajar melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dan akhirnya dia menemukan cara untuk membenamkan pil-pil overdosis itu ke kloset.”

Aku merasa bersyukur sempat membuka pesan dari Violet sehingga aku bisa mengenang kakakku bersama orang-orang yang juga menyayanginya. Aku senang mengetahui bahwa selama hidup, kakakku memiliki teman-teman suportif seperti mereka.

“Menurutku, Shining Heart bukan sekadar organisasi para penyintas kanker. Shining Heart adalah keluarga yang saling mengisi.” Aku menatap semua orang di ruangan. Betapa penting pertemanan ini. Betapa berpengaruhnya pertemuan ini. “Terima kasih sudah menemani Nathan di saat kami tak bisa menjadi keluarga yang sempurna untuk selalu menemaninya.”

Begitu saja, aku terisak keras. Violet menarik kepalaku ke bahunya. “Nathan tidak sendiri. Kamu tidak sendiri. Semua orang tidak sendirian.”

***

Unjuk Karya April 2023

Penulis: Dareve Stevn (Nur Isnaeni)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *